Sabtu, 30 Agustus 2014

"Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa"



cerita dibawah ini sangat menyadarkan kita apa artinya puasa.. Selamat membaca!


"Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa"

Hari ketiga di bulan Ramadan, saya berkesempatan menumpang becak menuju rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang: abang becak.

Ya, kudapati ia tengah lahap menyuap potongan terakhir pisang goreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang setang becak.

“Puasa-puasa begini, seenaknya saja dia makan,” gumamku.

Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya. Untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang tengah berpuasa.

"Hemmm...abang Muslim bukan?” tanyaku ragu-ragu.

“Ya dik, saya Muslim," jawabnya terengah sambil terus mengayuh.

“Tapi kenapa abang tidak puasa? Abang tahu kan ini bulan Ramadan. Sebagai Muslim seharusnya abang berpuasa. Kalaupun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa,” kataku.

Kalimat-kalimat itu keluar deras dari mulutku, layaknya orang berceramah.

Tukang becak yang kutaksir berusia lebih dari 40 tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya, sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.

“Dua hari pertama puasa kemarin, abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini makanan pertama abang sejak tiga hari ini,” ujarnya.

Abang becak itu sama sekali tak memberikan kesempatan kepadaku untuk memotong pembicaraannya.

“Dik, tak perlu ajari abang berpuasa. Orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa,” jelas tukang becak itu.

“Maksud bapak?” mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.

“Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga magrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya,” tegasnya.

“Jadi …” belum sempat kuteruskan kalimatku.

“Orang-orang berpuasa hanya di bulan Ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan Ramadhan atau bukan,” sambungnya.

“Abang sejak siang tadi bingung dik, mau makan dua potong pisang goreng ini. Malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi…” kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.

Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan berputar.

Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya tampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?

“Wah, enggak ada kembaliannya dik,” katanya setelah menerima lembaran uang dari saya.

“Simpan saja buat sahur Bapak besok ya,” kataku lirih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar