Letusan pada 17 April 1815 meluluh lantakkan Gunung Tambora, dan membunuh apa saja yang ada dalam jarak sekitar 2.000 kilometer. Tambora sebelum meletus memiliki tinggi 4.200 meter, dan kehilangan hampir separuh ketinggiannya menjadi hanya 2.800 meter. Gelora Tambora menewaskan sedikitnya 71.000 hingga 92.000 orang, dan butuh waktu seabad untuk mengisi kembali dapur magma Sang Tambora.
Dalam sejarah Bima, gelora Tambora terjadi saat masa kepemimpinan Sultan Bima ke-8 yaitu Sultan Abdul Hamid 1795-1819. Kitab Sejarah Bima (BO) mencatat, terdapat tiga kerajaan yang terletak di dekat Gunung Tambora telah hancur dan lenyap saat terjadi letusan yaitu Kerajaan Pekat, Kerajaan Tambora, dan Kerajaan Sanggar. Gunung Tambora sendiri terletak di dua kabupaten yaitu Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selain korban tewas, yang membuat Tambora mendunia adalah letusannya juga menyebabkan terjadi “tahun tanpa musim panas” pada 1816 atau satu tahun setelah ledakan. Hal tersebut terjadi di Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dihasilkan gelora Tambora. Tidak hanya itu, perubahan iklim drastis juga menyebabkan gagal panen dan kematian ternak yang membawa pada kelaparan terburuk abad ke-19.
Menurut Kompas, letusan dahsyat yang terjadi 176 tahun setelah berdirinya Kabupaten Bima itu menyemburkan volume material terbesar yang mencapai 150 miliar meter kubik. Igan Supriatman Sutawidjaja, Peneliti dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dalam ”Characterization of Volcanic Deposits and Geoarchaeological Studies from the 1815 Eruption of Tambora Volcano”, mengatakan distribusi awan panas diperkirakan mencapai area 820 km persegi. Jumlah total gabungan awan panas (piroklastik) dan batuan mencapai 874 kilometer persegi. Ketebalan awan panas rata-rata 7 meter, bahkan ada yang 20 meter.
Junghuhn, Ahli botani Belanda, dalam ”The Eruption of G Tambora in 1815”, menulis sejauh mata memandang hanya terlihat batu apung sekitar empat tahun setelah letusan. Pelayaran terhambat batuan apung berukuran besar yang memenuhi lautan. Segala yang hidup telah punah. Bumi begitu mengerikan dan kosong. Junghuhn membuat deskripsi berdasarkan laporan Disterdijk yang datang ke Tambora pada 16 agustus 1819 bersama The Dutch Residence of Bima.
Letusan Tambora sangat dahsyat, bahkan terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah manusia modern. Berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba (Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8.
Hari ini, 198 tahun setelah letusan Gunung Tambora, gunung itu masih meninggalkan cerita yang dahsyat di seluruh penjuru dunia. M Zainul Majdi, Gubernur NTB, bahkan meresmikan program “Tambora Menyapa Dunia” yang diluncurkan di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 16 Juni 2013, untuk dapat meningkatkan rasa percaya diri pariwisata NTB, khususnya Bima. (rd kandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar