Saya lupa persisnya kelas berapa saya ketika itu. Kalau tidak kelas 4 mungkin kelas 5 SD. Tahun itu saya merasakan ada perubahan. Tahun-tahun sebelumnya kami libur sebulan penuh selama bulan puasa. Tahun itu dan seterusnya tidak lagi libur.
Setelah saya dewasa saya baru tahu, ada keributan antara orang-orang besar di balik kejadian itu. Adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Jusuf yang mengeluarkan ketentuan itu. Buya Hamka waktu itu Ketua MUI marah. Ia menganggap langkah ini adalah upaya peminggiran Islam. Tapi Daoed Jusuf bergeming. Ia tetap pada keputusannya. Kalau tidak salah karena itulah Hamka mengundurkan diri sebagai Ketua MUI.
Hampir pada saat yang bersamaan Nurcholis Madjid menyampaikan gagasannya yang dianggap kontroversial tentang sekularisme, dengan slogan "Islam Yes, Partai Islam No". Dari slogan itu kita bisa pahami bahwa ia sedang melakukan usaha untuk "menarik" (umat) Islam keluar dari politisasi. Ia sedang mengkampanyekan depolitisasi Islam. Islam harus hadir sebagai agama yang luhur, bukan alat politik. Nurcholis Madjid mendapat kecaman keras, bahkan banyak yang menuduhnya agen Yahudi.
Tak lama setelah itu dimotori Gus Dur NU juga menegaskan bahwa NU kembali ke khittah sebagai ormas Islam, bukan partai politik. Implikasinya warga NU bebas menyalurkan aspirasinya kepada partai politik manapun, tidak harus ke PPP. Langkah ini dianggap sebagai penggembosan terhadap PPP yang mengandalkan massa NU sebagai sumber suara dalam pemilihan umum. Perolehan suara PPP memang menurun pada pemilihan umum setelah itu.
Apa efek semua ini pada umat Islam Indonesia? Apakah setelah itu umat Islam terpinggirkan? Apakah peran dan partisipasi orang Islam menjadi minim?
Agak sulit mengukurnya karena parameternya tidak jelas. Tapi ada beberapa hal menarik yang bisa kita perhatikan. Sepanjang dekade 80-an sepertinya umat Islam "terpinggirkan". Ada berbagai kasus penangkapan dan penahanan terhadap aktivis Islam. Ada pula kasus komando jihad. Jangan lupa pula dengan pelarangan jilbab di sekolah.
Tapi era 90-an menjadi titik balik. Pada era ini justru terjadi arus balik, di mana banyak tokoh Islam masuk ke berbagai jabatan politik, dan hubungan mereka dengan penguasa masa itu, Soeharto, sangat mesra.
Efek lanjutan dari proses itu menurut saya terjadi hingga hari-hari ini. Pada pemilu 2014 ini partai-partai Islam semakin jauh dari dominan dalam politik Indonesia. Peraup suara papan atas adalah partai-partai nasionalis. Partai Islam seperti PPP dan PKS hanya mampu meraih suara kurang dari 10%.
Apakah telah terjadi penyingkiran Islam dari kehidupan bermasyarakat seperti yang dikhawatirkan Hamka dulu? Sejauh yang bisa saya amati, tidak demikian. Yang terjadi justru adalah penguatan, seperti semakin maraknya aktivitas Islam, seperti meningkatnya jumlah pemakai jilbab serta menjamurnya bank syariah. Tentu, sekali lagi, parameter ini sangat bisa diperdebatkan. Namun yang jelas sulit untuk mengatakan bahwa umat Islam sekarang lebih pinggiran ketimbang di era 80-an.
Hari-hari ini saya seperti mengalami de ja vu ketika sekelompok orang menuduh Anies Baswedan sedang melakukan “testing the water” dalam upaya meminggirkan umat Islam. Skalanya tentu berbeda dengan perselisihan antara Daoed Jusuf dengan Hamka dulu. Tapi ada kemiripan.
Anies bukanlah Daoed. Untuk diketahui, ia berasal dari keluarga muslim yang baik. Saya mengenal keluarganya dengan baik. Ayah ibunya, adiknya, pamannya, juga istrinya. Ia bukan dari kalangan “abangan” seperti Daoed Jusuf. Tapi Anies bukanlah pendukung gagasan Islam politik. Ia pendukung Indonesia yang sekuler, Indonesia yang menempatkan Islam sebagai agama yang luhur, buka sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik. Indonesia yang menempatkan Islam sejajar dengan agama-agama lain yang dipeluk oleh warga negaranya, bukan agama yang istimewa, yang mendapat perlakuan lebih dari yang lain. Sekularisasi adalah penyejajaran, penyetaraan, bukan peminggiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar